Kehadiran para wisatawan secara otomatis menjadi keuntungan
tersendiri bagi daerah yang keindahannya dijadikan objek wisata. Namun
tak jarang pula menimbulkan keresahan. Pasalnya ada beberapa dari mereka
yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan tersebut. Kerusakan
lingkungan, terpengaruhnya budaya lokal secara tidak terkontrol,
berkurangnya peran masyarakat setempat dan persaingan bisnis yang mulai
mengancam lingkungan, budaya serta ekonomi masyarakat setempat adalah
menjadi serentetan dampak sebuah objek wisata kurang sedap lagi
dipandang apalagi dinikmati.
Maka konsep desa ekowisata menjadi salah satu solusinya dan saat ini
mulai dikembangkan di Indonesia. Menurut The International Ecotourism
Society (TIEC) pada awal tahun 1990 bahwa ekowisata merupakan perjalanan
yang bertanggungjawab ketempat-tempat yang alami dengan menjaga
kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat.
Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus
melestarikan potensi sumber-sumber alam dan budaya untuk dijadikan
sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan.
Kegiatan ekowisata di Indonesia juga diatur Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 33 Tahun 2009. Secara umum objek kegiatan ekowisata tidak
jauh berbeda dari kegiatan wisata alam biasa, namun memiliki nilai-nilai
moral dan tanggung jawab yang tinggi terhadap objek wisatanya.
Seperti laporan yang merujuk dari
Mongabay Indonesia, kelompok
nelayan di Bali telah melestarikan desanya menjadi desa ekowisata
terapung di Serangan. Berawal dari keprihatinan terhadap kerusakan alam
dan kehidupan bermasyarakat, salah seorang nelayan, Wayan Patut,
berusaha memulihkan ekosistem yang telah tercemar dan mengalami
kerusakan parah akibat proyek reklamasi pada tahun 1990-an. Bersama
Kelompok Nelayan Segara, Putut pun berhasil menjadikan desa Serangan
menjadi destinasi yang edukatif.
Tak hanya itu mereka juga berhasil mengembangbiakkan dua spesies kuda
laut melalui riset dan uji coba habitat secara mandiri. Selain itu
pemulihan terumbu karang mulai digalakkan oleh mereka kepada anak-anak
juga orangtua. Para wisatawan pun dapat menikmati beragam keunikan biota
laut melalui kegiatan snorkeling. Alhasil usaha gigih Patut dan
Kelompok Nelayan Segara demi memulihkan desanya mendapat perhatian dari
Kementrian Kelautan dan Perikanan juga memperoleh penghargaan Kalpataru
untuk kategori Penyelamat Lingkungan pada tahun 2011.
Kesadaran akan lingkungan menjadi poin penting agar keseimbangan alam
tetap terjaga. Jika hal ini diabaikan maka akan berdampak buruk bagi
ekosistem dan manusia sebagai konsumennya. Akan tetapi tidak ada kata
terlambat untuk memperbaiki segala hal yang telah terjadi. Seperti yang
dialami masyarakat di desa Sarongge. Desa yang menjadi penyangga Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGPP) ini sempat mengalami degradasi
lahan akibat kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat lokal.
Berkat kesadaran warga setempat dan juga bantuan dari pihak luar saat
ini desa Sarongge mulai dikembangkan menjadi desa ekowisata yang
edukatif. Ada banyak program yang ditawarkan untuk wisatawan yang
mencoba melepas penat dari kesemerawutan kota. Kegiatan seperti menanam
pohon, memanen sayur, budidaya ulat sutera, hingga
camping ground menjadi pilihan yang tepat untuk #LiburanHijau keluarga.
Lokasi
Desa Sarongge merupakan kawasan penyangga TNGPP. Desa ini terletak di
Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Menuju desa ini bisa
diakses melalui jalur Jakarta – Bogor – Puncak – Pacet dengan jarak
tempuh lebih kurang 100 km atau sekitar 3 jam perjalanan dari Jakarta.
Sementara jika dari Bandung, dapat melalui jalur Bandung – Cianjur –
Cipanas – Pacet dengan jarak tempuh lebih kurang 85 km atau 2 jam
perjalanan. Patut diperhitungkan pula kepadatan jalur puncak terutama
saat libur dan faktor cuaca yang dapat mempengaruhi waktu tempuh menuju
lokasi.

Suasana Desa Sarongge. Foto: Zahra Firdausiah
Desa yang baru-baru ini dijadikan sebagai model desa konservasi,
dulunya sebagian lahan sempat mengalami degradasi. Beberapa bagian areal
yang mengalami perluasan oleh Perum Perhutani dijadikan lahan pertanian
oleh warga lokal. Pasalnya hutan di sekitar desa Sarongge menjadi
habitat satwa yang hampir terancam punah turut terkena imbasnya.
Maka dari itu Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Kementrian Kehutanan bekerjasama dengan Green Radio berusaha melakukan
pendekatan dan pemberdayaan kepada masyarakat setempat untuk menyadarkan
akan pentingnya menanam dan merawat hutan yang ada. Pada awalnya visi
ini mengalami benturan tersendiri dari masyarakat. Menurut buku
‘Sarongge, Desa Wisata, Edukasi Hutan dan Adopsi Pohon di TNGPP’ yang
dikeluarkan oleh Sekretariat Jenderal Kementrian Kehutanan setidaknya
ada 155 Kepala Keluarga yang bercocok tanam di dalam taman nasional.
Padahal umunya areal yang dirambah tersebut berada di lereng gunung,
dengan kelerengan lebih dari 30 derajat dan sangat rawan terjadinya
tanah longsor dan erosi.

Areal perkebunan desa Sarongge. Foto: Zahra Firdausiah
Masyarakat pun berangsur-angsur meninggalkan lahan taman nasional
setelah dibina oleh Perum Perhutani dan melakukan kemitraan dengan
berbagai pihak. Keuntungannya selain dapat menyelamatkan dan
menghidupkan keseimbangan hutan dan lingkungan juga dapat
menyejahterakan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Sarongge pun berubah status dari desa kebun sayur menjadi desa
ekowisata pada 29 Juni 2013 lalu. Melalui pesta rakyat kampung Sarongge
yang digelar secara tiga hari berturut-turut mulai 29 Juni – 1 Juli
2013, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, dan
Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan, menetapkan bahwa desa Sarongge
sebagai model desa konservasi.
Adopsi Pohon
Program ini menjadi ikon utama di desa Sarongge. Adopsi pohon
merupakan program kerjasama antara pihak Perhutani Balai Besar TNGPP
dengan Green Radio. Green Radio sendiri merupakan radio yang bergerak di
bidang lingkungan. Visinya membahas segala permasalahan lingkungan
mulai dari kebijakan sampai pada tips perubahan perilaku yang ramah
lingkungan.
Kerjasama ini bermula pada tahun 2008. Dalam lima tahun, Green Radio,
bersama Balai Besar TNGPP, para adopter dan petani Sarongge, menanam
sekitar 22.000 pohon. Penanaman perdana dilakukan pada tanggal 8 Juli
2008 di areal TNGPP yang merupakan bekas areal perhutani.
Areal TNGPP yang semula seluas 15.196 ha pada tahun 2003, diperluas
menjadi 21.975 ha. Seluas 5.000 ha dari areal itu direhabilitasi melalui
program adopsi pohon. Program ini bertujuan untuk merehabilitasi areal
taman nasional yang sudah terlanjur menjadi kebun-kebun sayur menjadi
hutan primer.
Hingga Maret 2013, adopsi pohon telah dilakukan pada 60,664 ha hutan
dengan jumlah 24.093 pohon. Program ini berhasil melakukan pembinaan
habitat dengan memulihkan areal seluas 38 ha menjadi hutan kembali.
Selain itu program ini akan dijadikan sebagai salah satu model nasional
penyelesaian konflik tenurial hutan.
Ada beberapa tokoh masyarakat yang ikut berpartisipasi meramaikan
program ini. Sebut saja Jimly Asshiddiqie, Olga Lydia, juga Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono serta beberapa
menteri Kabinet Indonesia Bersatu II.

Pak Susilo Bambang Yudhoyono turut berpartisipasi dalam program adopsi pohon. Foto: diambil dari www.tempo.co
Bagi anda yang tertarik untuk mengadopsi pohon, anda cukup meyiapkan
dana sebesar Rp 108.000,- per satu pohon. Pembiayaan ini digunakan
selama 3 tahun untuk penanaman dan pemeliharaan pohon. Selain membantu
menyeimbangkan kembali habitat hutan primer secara tidak langsung anda
juga membantu perekonomian masyarakat setempat karena adanya sumber
penghasilan alternatif.
Belajar Ternak
Warga Sarongge juga mengembangkan peternakan domba dan kelinci.
Setiap bulannya warga lokal memproduksi sekitar 100 ekor kelinci dan 200
ekor domba. Padahal awalnya mereka hanya memproduksi sekitar 40 ekor
domba setiap bulannya.

Kandang untuk ternak domba. Foto: Zahra Firdausiah
Program ternak ini meningkatkan kesejahteraan mereka menjadi tiga
kali lipat dari perkebunan sayur di dalam kawasan taman nasional. Selain
itu menjadikan liburan kita menjadi lebih bermanfaat dengan belajar
ternak dari warga lokal.

Kegiatan peternak domba. Pengunjung juga bisa belajar bagaimana berternak domba. Foto: Zahra Firdausiah
Budidaya Lebah Madu
Selain kelinci dan domba, lebah madu menjadi pilihan ketiga program
ternak yang dikembangkan masyarakat. Diawal program telah disebar 40
kotak lebah madu akan tetapi karena penggunaan pestisida yang berlebihan
oleh petani penggarap TNGPP membuat program ini gagal dilaksanakan.
Nampaknya lebah madu memang alergi terhadap zat-zat yang bersifat kimiawi. Seperti yang dilaporkan oleh
Mongabay Indonesia
pada 2012 lalu, petani lebah madu di Danau Sentarum, Desa Laboyan,
Kapuas Hulu, mengalami gagal panen ditahun ketiganya (2012) akibat
perubahan iklim global yang secara langsung memengaruhi siklus hidup
lebah-lebah madu hutan. Lebah madu menghilang di musim kemarau lantaran
asap dari kebakaran hutan.
Akan tetapi pada tahun 2011 masyarakat Sarongge tidak menyerah pada
keadaan. Lebah madu kembali dikembangkan dengan menyebarkan 20 kotak di
sekitar taman nasional. Kotak-kotak lebah tersebar di sepanjang
perbatasan hutan taman nasional dengan batas kampung warga Sarongge.
Sehingga kotak-kotak lebah madu ini dapat diamati sambil berjalan menuju
Hutan Sahabat Green.
Budidaya Ulat Sutera
Kain sutera merupakan bahan pakaian yang sangat indah dan istimewa di
dunia. Tak ada yang tak ingin menggunakan kain jenis ini. Proses
pembuatan yang rumit dan panjang menjadikan kain sutera harus merogoh
kocek tak sedikit. Maka dari itu tak banyak juga pengrajin yang
mengembangkan budidaya ini. Di Cianjur baru ada satu pengrajin kain
sutera yang terbilang sudah memproduksi secara simultan, yaitu Kelompok
Usaha Bersama Aurarista di Kampung Sarongge, RT 02/06, Desa Ciputri
Kecamatan Pacet, Cianjur.
Lewat program ini anda beserta keluarga dapat mengetahui bagaimana
proses kain sutera dibuat. Mulai dari pembuatan rumah untuk pemeliharaan
ulat menjadi kokon hingga proses pemintalan benang, menjadikan
perjalanan ekowisata yang unik dan menarik.

sumber foto: cianjurcybercity.com
Perkebunan Sereh Wangi
Meski hidup di ladang-ladang liar nyatanya tanaman sereh wangi
memiliki manfaat yang luar biasa. Tanaman ini memiliki nilai yang cukup
tinggi di pasaran. Seperti yang disampaikan oleh Ir.Hieronymus Budi
Santoso dalam bukunya yang berjudul
Sereh Wangi, Bertanam dan Penyulingan,
harga tanaman sereh wangi bisa mencapai sekitar Rp 17.500,- hingga Rp
22.500,- per kilogram. Maka dari itu petani di Sarongge mengembangkan
tanaman ini.
Minyak sereh juga dimanfaatkan sebagai bahan campuran untuk pembuatan
sabun, bahan kosmetik dan minyak gosok. Selain itu sari dari sereh
wangi juga dapat dijadikan sebagai minuman hangat yaitu teh. Selain
mencicipi olahan sereh wangi anda juga bisa melihat proses pembuatannya.
Pertanian Organik
Pertanian organik di Sarongge awalnya didirikan oleh Green Initiative
Foundation. Pertanian ini menempati lahan seluas 1.600 meter persegi,
produksi Pertanian Organik Sarongge meliputi 20 jenis sayuran.
Petani di kampung ini mengembangkan pertanian organik yang bebas
pestisida dan menggunakan pupuk alami. Sehingga di tempat ini pengunjung
bisa membeli sayuran segar langsung dari petaninya. Selain sayurnya
yang masih segar, harganya juga relatif lebih murah dan langsung dapat
dipetik dari kebunnya.

sumber foto: greeninitiativefoundation.org
Camping Ground
Program ini diperuntukkan bagi mereka yang ingin bermalam dan
merasakan dinginnya hawa pegunungan. Bersama keluarga tercinta kegiatan
camping ground memberikan pendidikan secara langsung betapa pentingnya
konservasi hutan.

jalan menuju camping ground. foto oleh: Zahra Firdausiah
Sarana berkemah di Sarongge ini bisa menjadi salah satu alternatif
wisata murah. Pengunjung hanya dikenakan biaya sebesar Rp 290.000,-
dengan menginap selama 2 hari 1 malam disertai dengan menanam pohon di
hutan adopsi. Fasilitas yang ditawarkan pun cukup lengkap, dilengkapi
dengan fasilitas tenda, rumah pohon, aula atau ruang pertemuan, dapur,
toilet umum dan ada api unggun juga. Selain itu menyediakan jasa pemandu
wisata dan porter lokal bagi pengunjung termasuk penyediaan catering
dan logistic untuk kebutuhan pengunjung.

Pengunjung disediakan tenda oleh warga setempat untuk pelayanan penginapan. sumber foto: portalkbr.com
Camping Ground yang didirikan di area bekas kebun sayur masyarakat
ini menempati areal seluas 2,5 hektar. Pada tahun 2011, Camping Ground
Sarongge dikembangkan kembali menjadi kawasan pendidikan alam dan energy
terbarukan. Dilengkapi juga dengan penggunaan panel surya yang
menerangi kawasan camping ground.

rumah pohon di areal Camping Ground. Foto: Zahra Firdausiah
Kegiatan berkemah juga bisa berlanjut dengan menyelusuri sungai dan
air terjun Ciheulang. Dibutuhkan waktu selama 4 – 5 jam untuk
trekking menuju
air terjun ini. Di air terjun Ciheulang ada mata air aneka rasa, salah
satunya berasa asam. Di hulunya, diperkirakan sumber mata air ini
bercampur gas belerang, yang memang muncul di banyak tempat di Gunung
Gede.
Di sekitar camping ground setinggi 1.560 mdpl ini dapat ditemukan
berbagai jenis tumbuhan obat dan buah. Ada banyak jenis tumbuhan baik
pohon maupun semak yang berguna sebagai obat. Selain itu satwa liar yang
dilindungi juga dapat diamati di sekitar hutan dan camping ground,
seperti monyet ekor panjang, babi hutan, lutung, dan burung elang.

Walen,
salah satu tanaman herbal untuk menyembuhkan sakit gigi yang berada di
kawasan hutan Sarongge. Foto: greeninitiativefoundation.org
Mengunjungi Desa Sarongge menjadi pilihan yang tepat untuk
#LiburanHijau keluarga. Selain mengajarkan anak-anak peduli terhadap
lingkungan dan mengembangkan kawasan pendidikan konservasi alam,
pengunjung juga menyumbangkan sebagian dananya untuk meningkatkan taraf
penghidupan petani menjadi lebih layak dan sejahtera secara ekonomi,
pendidikan dan kesehatan.